Sejak kemarin perutku ini belum diisi apapun. Aku benar-benar
lapar. Warung-warung makan sudah aku datangi, tapi hasilnya sia-sia
saja. Tak ada yang bisa kudapatkan untuk dimakan. Mereka semua malah
mengusirku, mengejarku dengan gagang sapu di tangannya untuk memukulku.
Kaki kananku jadi korbannya. Jalanku kini pincang.
Meski pincang
aku tetap tidak menyerah. Aku akan terus mencari sampai ada orang yang
mau membagi sedikit saja makanannya untukku.
Berjam-jam sudah aku
berjalan, bukan makanan yang kudapatkan melainkan peluh yang keluar
akibat terik matahari yang menyengat siang ini. Capek, panas, ingin
kurebahkan sejenak tubuh ini. Tapi di mana?
Aku terus berjalan
hingga kutemukan sebuah toko yang terlihat sepi. Toko yang penuh
berbagai macam mainan dengan warna dan bentuk yang menarik. Tapi tak
menarik untukku. Karena yang kubutuhkan saat ini hanyalah makanan.
Tapi, tunggu dulu! Aku lihat kain hitam di pojokan sana. Di dalam toko
ini. Kain bekas yang kelihatannya tak terpakai lagi. Sudah dijadikan lap
mungkin? Tapi aku tak peduli, mumpung penjaga tokonya sedang tak ada.
Jadi tak ada salahnya kalau aku numpang sejenak untuk merebahkan
tubuhku.
Aku berjalan mendekati kain lap. Kain lap ini rasanya
lumayan nyaman, lumayan untuk alas tidur. Aku ambil posisi yang nyaman,
lalu kupejamkan mataku. Tak berapa lama aku pun terlelap.
* * *
Ooah…! Kuregangkan tubuhku. Lumayan, sudah terasa lebih segar. Tapi,
perutku masih lapar. Kuputuskan untuk kembali berburu makanan.
Setelah berjuang melewati kencangnya laju kendaraan yang membuatku harus
terseok-seok menghindar saat ban-ban itu hampir melindasku, akhirnya
aku sampai juga di sebuah rumah makan.
Clingak-clinguk. Aku mencari sesuatu yang kuyakin pasti banyak ikan-ikan sisa di dalamnya yang bisa kumakan siang ini.
Setelah melewati beberapa kaki manusia yang tak jarang hampir menginjak
ekorku, bahkan mengusirku dengan kakinya, kutemukan tong sampah yang
kucari tepat di ruang dapurnya. Ya, ruang dapur. Aku yakin ini dapur
rumah makan ini karena di sini terdapat banyak panci-panci besar.
Aku mencoba menaiki tong sampah di hadapanku yang tingginya dua kali
lipat dari tinggi badanku agar aku bisa masuk ke dalamnya. Aroma
sisa-sisa ikan menggiurkan tercium oleh hidungku.
Tak perlu waktu
lama agar aku dapat masuk dan menenggelamkan tubuhku dalam tong sampah.
Benar kan dugaanku, di sini banyak sekali sisa-sisa ikan yang bisa
kumakan.
Sedang asyik-asiknya makan sisa-sisa ikan di tong sampah, terdengar suara teriakan yang membuatku terkejut.
“Husssh…! Kurang ajar! Ngeberantakin sampah, pergi, pergi, pergi!
Hush…!” teriaknya. Sapu lidi di tangannya siap mendarat di tubuhku.
Tanpa pikir panjang aku pun bergegas melompat keluar dari tong sampah
dan lari terbirit-birit dengan kaki terpincang-pincang hingga tong
sampahnya terguling dan membuat isinya berserakan di lantai. Orang tadi
pun tambah murka. Sumpah serapah diteriakkannya padaku.
Ah,
kemana lagi harus kucari makanan. Perutku masih lapar. Manusia oh
manusia, mengapa engkau begitu kejam padaku hingga untuk memakan
sisa-sisa makananmu saja tak boleh.
Ah, aku tak mengerti pada
manusia yang sepertinya sangat tidak menyukaiku. Padahal orang kaya di
luar sana banyak yang rela membayar dengan harga dan biaya pemeliharaan
yang super mahal untuk kucing yang katanya ras anggora lah, persia lah.
Bagiku, bukankan aku dan para kucing ras itu sama saja? Sama-sama
kucing. Tapi mengapa mereka begitu berbeda memperlakukan kami?
Para kucing ras itu sangat diperlakukan istimewa bak raja dan ratu.
Sementara kami, kucing kampung, dianggap sama sekali tak berharga,
menjijikan, bahkan dianggap musuh dengan menjuluki kami kucing garong.
Padahal tidak semua kucing kampung adalah kucing garong.
Setelah
lelah berlari dari kejaran orang tadi, kuputuskan untuk berhenti di
sebuah tempat di mana banyak orang berjubel dan mengantri. Suasananya
ramai sekali. Banyak orang yang tengah asik mengobrol sambil menikmati
makanan di mangkuknya. Aku tak tahu apa itu. Tapi hidungku mencium bau
daging bertebaran di tempat ini.
Aku melenggang masuk setelah memastikan tak ada satu orang pun menyadari kedatanganku.
“Bang, bakso, jangan pake mie kuning ya?” Pesan seseorang pada bapak yang berdiri di depan gerobak.
Owh, sekarang aku tahu. Ini tempat tukang bakso. Bakso? Mm, kukira rasanya tidak kalah enak dengan ikan.
Kali ini aku tak mau masuk tong sampah lagi karena tak akan ada yang
bisa kutemukan di tong sampah milik tukang bakso. Aku yakin tong sampah
tukang bakso ini hanya berisi mie atau bihun sisa yang tak dihabiskan
oleh para pembeli, potongan batang sawi atau plastik-plastik bekas.
“Meong, meong…,!” teriakku, memelas di bawah kaki seorang bocah. Berharap sekali ia mau membagi sedikit baksonya padaku.
Ternyata tak berhasil. Ia malah menendangku dengan kakinya. Aku beralih
ke bocah lain. Ternyata sama saja. Beralih ke orang tuanya. Ah, sama
saja.
Aku duduk lemas di kolong meja. Aku berpikir haruskah kucuri saja makanan dari tangan mereka?
Air mataku hampir saja menetes ketika kudengar ada suara memanggilku.
“Pus, sini!” bisik seorang bocah dari kursi seberang. Ia menunjukkan
bakso berukuran kecil padaku. Aku pun segera mendekati bocah tadi.
“Meong…! Meong…!” seruku, melompat kegirangan.
Ia meletakkan bakso tadi di hadapanku lalu kemudian mengelus-elus
kepalaku. “Uuu… kamu lapar ya?” tanyanya dengan bibir mengerucut lucu.
Ia bocah yang tak hanya cantik hatinya karena telah rela berbagi
baksonya denganku, tapi juga cantik wajahnya.
Ia tersenyum manis
sekali padaku. Aku bahagia, karena ternyata masih ada manusia yang
peduli pada hewan kecil yang dianggap pencuri dan pengganggu sepertiku.
Ah, andai semua orang seperti anak ini, harapku.
![](https://scontent-b-hkg.xx.fbcdn.net/hphotos-ash4/t1.0-9/10325698_641839905908640_2442891395867058297_n.jpg)